Penulis

Lihat Semua
Cindy Hess Kasper

Cindy Hess Kasper

Cindy Hess Kasper telah melayani di RBC selama lebih dari 30 tahun, dimana kini ia menjadi wakil editor untuk renungan Our Daily Bread. Cindy adalah putri dari editor senior RBC, Clair Hess, yang darinya Cindy belajar untuk mencintai tulisan. Cindy dan suaminya, Tom, memiliki tiga anak dan tujuh cucu.

Artikel oleh Cindy Hess Kasper

Cukup Waktu

Melihat novel tebal War and Peace karangan Leo Tolstoy di rak buku teman saya Marty, saya mengaku, “Aku belum pernah membaca buku itu sampai selesai.” Marty tertawa, lalu berujar, “Sewaktu saya pensiun jadi guru, seorang teman yang menghadiahkan buku itu berkata, ‘Akhirnya, sekarang kamu punya waktu untuk membacanya.’”

Apa Adanya

Oliver Cromwell, yang dijuluki “Pelindung Inggris”, adalah seorang komandan militer dari abad ke-17. Para tokoh penting pada masa itu biasa diabadikan dalam bentuk lukisan. Sudah biasa pula apabila pelukisnya memoles bagian-bagian yang kurang menarik pada wajah sang tokoh. Akan tetapi, Cromwell tidak mau potretnya dibuat seperti itu. Ia mewanti-wanti si pelukis, “Kau harus melukis wajahku apa adanya—warts and all—atau kau tidak akan kubayar” (“warts” adalah kutil seperti jerawat pada kulit wajah).

Tidur Nyenyak

Manakala teman saya, Floss, tidak bisa tidur, ia mengingat-ingat lirik lagu himne, “Yesusku Kucinta-Mu”. Ia menyebutnya lagu “tengah malam” karena pujian itu menolongnya mengingat janji Allah dan banyaknya alasan ia mengasihi-Nya.

Senang Belajar

Ketika ditanya bagaimana awal mulanya ia menjadi wartawan, seorang pria bercerita tentang tekad kuat sang ibu agar ia dapat meneruskan pendidikannya. Setiap kali naik kereta bawah tanah, ibunya mengumpulkan koran yang ditinggalkan oleh para penumpang dan memberikan koran-koran itu kepadanya. Selain menikmati berita olahraga, koran-koran itu juga menyajikan pengetahuan tentang dunia, yang kemudian membuka pikirannya kepada banyak hal baru.

Menggambarkan Kitab Suci

Ubin keramik biru-putih bermotif yang sering ditemukan di rumah-rumah di Belanda, awalnya dibuat di Delft. Ubin ini berlukiskan pemandangan khas Belanda: alam yang indah, kincir angin, dan orang-orang yang bekerja serta bermain.

Dana Darurat

Ketika usaha-usaha kecil di Tennessee mendadak ditutup untuk mencegah penyebaran COVID-19, para pemilik toko sempat khawatir bagaimana mereka dapat memperhatikan kesejahteraan karyawan, membayar sewa, dan bertahan melewati krisis ini. Menanggapi keprihatinan mereka, seorang gembala gereja dekat Nashville memulai inisiatif untuk memberikan bantuan tunai kepada para pemilik usaha yang sedang mengalami kesulitan. 

Hancur dari Dalam

Ketika saya masih remaja, ibu saya sempat melukis sebuah mural pada dinding ruang tamu rumah kami dan lukisan itu bertahan selama beberapa tahun. Gambarnya menunjukkan pemandangan kuil Yunani kuno yang sudah runtuh, lengkap dengan tiang-tiang penyangga berwarna putih yang ambruk di sekitarnya, air mancur yang tumbang, dan patung yang rusak. Saat saya memandangi gambar bangunan ala Yunani yang pernah menjulang indah nan megah tersebut, saya berusaha membayangkan apa yang kira-kira menyebabkan semua kehancuran itu. Saya penasaran, terutama ketika saya mulai mempelajari tragedi dari suatu peradaban yang pernah jaya dan berkembang pesat, tetapi yang kemudian rusak dan hancur dari dalam.

Seorang Pendoa

Keluarga kami mengenang kakek saya sebagai seorang yang teguh beriman dan tekun berdoa. Namun, itu baru terjadi setelah beliau mengalami perubahan dalam hidupnya. Bibi saya ingat saat ayahnya pertama kali berkata kepada seluruh keluarga, “Mulai sekarang kita akan berdoa dahulu sebelum makan.” Doa pertamanya diucapkan dengan terbata-bata, tetapi beliau tekun berdoa setiap hari hingga akhir hidupnya lima puluh tahun kemudian. Ketika beliau wafat, suami saya memberikan tanaman doa (maranta) kepada nenek saya sambil berkata, “Kakek sungguh seorang pendoa yang tekun.” Keputusan kakek saya untuk mengikut Allah dan berbicara kepada-Nya setiap hari telah menjadikannya seorang pelayan Kristus yang setia.

Allah Tahu Kisah Hidup Anda

Dalam perjalanan pulang ke rumah sehabis makan siang bersama seorang teman baik, saya mengucap syukur kepada Allah untuk dirinya. Sahabat saya itu mengenal dan mengasihi saya meskipun ada hal-hal pada diri saya yang tidak saya sukai. Ia salah satu dari sejumlah kecil teman yang menerima saya apa adanya—segala keunikan, kebiasaan, dan kegagalan saya. Meskipun demikian, masih ada bagian-bagian dalam kisah hidup saya yang tidak ingin saya bagikan dengannya atau dengan orang-orang yang saya kasihi. Itulah saat-saat ketika saya hidup jauh dari harapan, ketika saya cenderung menghakimi orang lain, atau bersikap tidak baik, atau tidak memancarkan kasih.